Tidak sedikit tokoh bangsa yang pernah melalui fase kehidupan dalam suatu wadah pergerakan yang kelak dikenal sebagai gerakan Pramuka.
“Kalau kamu hidup pada zaman Belanda, sebelum diambil menantu pasti ibuku akan bertanya, apakah kau bisa masak,” ucap Mas Tom menggodaku. “Sini, kamu kuajari masak. Aku ini jago masak. Waktu kepanduan harus diuji masak.”
Itulah salah satu penggal kenangan yang sangat terpatri dalam ingatan dan hati Sulistiana akan sosok Mas Tom di awal-awal pernikahan mereka pada medio 1947 itu. Mas Tom yang dimaksud adalah Sutomo atau yang hingga kini melegenda dengan panggilan Bung Tomo, pahlawan pengobar semangat rakyat dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
“Betul, percayalah. Aku ini seorang pandu sejati,” tegas Mas Tom (Sulistiana Sutomo, Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu, 2008:59).
Begitu bangganya seorang Mas Tom alias Bung Tomo lantaran pernah menjalani hidup sebagai anggota kepanduan atau yang nantinya menjelma menjadi Pramuka.
Sang Pandu Garuda
Tentunya bukan dalam hal masak-memasak saja keahlian yang didapatkan Sutomo sebagai mantan seorang pandu, meskipun itu juga sangat penting misalnya sebagai bekal kemandirian. Sosok Bung Tomo yang cekatan, pemberani, berprinsip, dan cinta tanah air, terbentuk dari proses kehidupannya yang pernah aktif sebagai gerakan kepanduan di era kolonial.
Sutomo adalah arek Surabaya asli, lahir pada 3 Oktober 1920. Ia menjadi anggota kepanduan ketika menempuh pendidikan di sekolah menengah Hoogere Burgerschool (HBS) di kota kelahirannya. Kala itu, Tomo bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) pada usia 14 tahun (Mengungkapkan Kembali Semangat Perjuangan 1945, 1975:160).
Bagi Tomo, kepanduan merupakan salah satu unsur yang paling bermakna dalam hidupnya. Ia memang tidak terlalu mulus dalam menjalani jenjang pendidikan formal, dan itu terganti berkat semua hal yang didapatnya dari kepanduan. Tomo termasuk kader KBI yang paling berprestasi.
Nama Tomo menjadi buah bibir setelah berhasil lulus ujian Pandu Kelas 1 atau Pandu Garuda pada usia 17 tahun. Ini bukan pencapaian sembarangan. Dari seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) kala itu, hanya ada 3 orang yang mampu meraih predikat Pandu Garuda, dan Tomo adalah salah satunya (Sutomo, Menembus Kabut Gelap, 2008:243).
Jenderal Besar Mantan Pramuka
Selain Bung Tomo, ada juga Sudirman yang juga pernah menapaki masa baktinya di laskar kepanduan. Sudirman yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah tokoh bangsa legendaris yang nantinya dikenal sebagai sosok panglima besar dalam sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dilahirkan di Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 24 Januari 1916, Soedirman semula menjadi anggota KBI, sama seperti Sutomo. KBI sendiri adalah gabungan dari beberapa gerakan kepanduan yang berafiliasi dengan organisasi-organisasi kebangsaan di era pergerakan nasional (Soedarsono Mertoprawiro, Pembinaan Gerakan Pramuka, 1992:22).
Kala itu, di Indonesia terdapat banyak laskar kepanduan. Fusi dari organ-organ itu pun turut bermunculan, berasal dari berbagai latar belakang organisasi dan kepentingan. Ada yang bersetting nasionalis, ada pula yang menginduk pada organisasi berbalut agama, ada yang digagas kaum pribumi, ada juga yang digagas oleh orang Belanda/Eropa, dan seterusnya.
Dari KBI, Sudirman kemudian bergiat di Kepanduan Putra milik Hizboel Wathan (Simon Montefiore, Speeches That Changed The World, 2006:239). Sudirman menjadi tokoh penting di salah satu organ Muhammadiyah tersebut, ia adalah pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap.
Pengalaman dan keterampilan yang diperoleh Sudirman dari kepanduan nantinya akan sangat berguna bagi dirinya untuk berkecimpung dalam sektor ketentaraan, dari saat bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA) di era pendudukan Jepang sejak 1942, hingga terpilih sebagai pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tidak lama setelah Indonesia merdeka.
Kepanduan juga mengajarkan kepada Sudirman tentang arti kesederhanaan, salah satunya adalah tidak mesti harus berseragam mewah (Sardiman AM, Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Sudirman, 2008:39). Itulah sebabnya, sosok Sudirman tidak pernah tampil dalam balutan seragam militer dengan seabrek pangkat yang tertempel di dada layaknya seorang jenderal besar.
Praja Muda Karana
Mereka yang menjadi legenda dari jenjang karier sebagai anggota kepanduan bukan hanya Bung Tomo atau Pak Dirman saja. Masih banyak tokoh bangsa yang berangkat dari pengalaman yang kurang lebih sama, termasuk Slamet Riyadi, Sunario Sastrowardoyo, Kasman Singodimedjo, Dr. Muwardi, H. Mutahar, Wilopo, dan lainnya.
Kepanduan memang menjadi salah satu sayap penting bagi organisasi pergerakan nasional, termasuk untuk melahirkan kader-kader tangguh. Dari Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Jong Java, dan seterusnya, punya organ kepanduan meskipun muncul dengan nama yang berbeda-beda.
Sejak 1961, atas perintah Presiden Sukarno, seluruh laskar kepanduan yang ada di Indonesia dilebur ke dalam satu wadah gerakan yang dinamakan Praja Muda Karana alias Pramuka.
“Kalau kamu hidup pada zaman Belanda, sebelum diambil menantu pasti ibuku akan bertanya, apakah kau bisa masak,” ucap Mas Tom menggodaku. “Sini, kamu kuajari masak. Aku ini jago masak. Waktu kepanduan harus diuji masak.”
Itulah salah satu penggal kenangan yang sangat terpatri dalam ingatan dan hati Sulistiana akan sosok Mas Tom di awal-awal pernikahan mereka pada medio 1947 itu. Mas Tom yang dimaksud adalah Sutomo atau yang hingga kini melegenda dengan panggilan Bung Tomo, pahlawan pengobar semangat rakyat dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
“Betul, percayalah. Aku ini seorang pandu sejati,” tegas Mas Tom (Sulistiana Sutomo, Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu, 2008:59).
Begitu bangganya seorang Mas Tom alias Bung Tomo lantaran pernah menjalani hidup sebagai anggota kepanduan atau yang nantinya menjelma menjadi Pramuka.
Sang Pandu Garuda
Tentunya bukan dalam hal masak-memasak saja keahlian yang didapatkan Sutomo sebagai mantan seorang pandu, meskipun itu juga sangat penting misalnya sebagai bekal kemandirian. Sosok Bung Tomo yang cekatan, pemberani, berprinsip, dan cinta tanah air, terbentuk dari proses kehidupannya yang pernah aktif sebagai gerakan kepanduan di era kolonial.
Sutomo adalah arek Surabaya asli, lahir pada 3 Oktober 1920. Ia menjadi anggota kepanduan ketika menempuh pendidikan di sekolah menengah Hoogere Burgerschool (HBS) di kota kelahirannya. Kala itu, Tomo bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) pada usia 14 tahun (Mengungkapkan Kembali Semangat Perjuangan 1945, 1975:160).
Bagi Tomo, kepanduan merupakan salah satu unsur yang paling bermakna dalam hidupnya. Ia memang tidak terlalu mulus dalam menjalani jenjang pendidikan formal, dan itu terganti berkat semua hal yang didapatnya dari kepanduan. Tomo termasuk kader KBI yang paling berprestasi.
Nama Tomo menjadi buah bibir setelah berhasil lulus ujian Pandu Kelas 1 atau Pandu Garuda pada usia 17 tahun. Ini bukan pencapaian sembarangan. Dari seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) kala itu, hanya ada 3 orang yang mampu meraih predikat Pandu Garuda, dan Tomo adalah salah satunya (Sutomo, Menembus Kabut Gelap, 2008:243).
Jenderal Besar Mantan Pramuka
Selain Bung Tomo, ada juga Sudirman yang juga pernah menapaki masa baktinya di laskar kepanduan. Sudirman yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah tokoh bangsa legendaris yang nantinya dikenal sebagai sosok panglima besar dalam sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dilahirkan di Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 24 Januari 1916, Soedirman semula menjadi anggota KBI, sama seperti Sutomo. KBI sendiri adalah gabungan dari beberapa gerakan kepanduan yang berafiliasi dengan organisasi-organisasi kebangsaan di era pergerakan nasional (Soedarsono Mertoprawiro, Pembinaan Gerakan Pramuka, 1992:22).
Kala itu, di Indonesia terdapat banyak laskar kepanduan. Fusi dari organ-organ itu pun turut bermunculan, berasal dari berbagai latar belakang organisasi dan kepentingan. Ada yang bersetting nasionalis, ada pula yang menginduk pada organisasi berbalut agama, ada yang digagas kaum pribumi, ada juga yang digagas oleh orang Belanda/Eropa, dan seterusnya.
Dari KBI, Sudirman kemudian bergiat di Kepanduan Putra milik Hizboel Wathan (Simon Montefiore, Speeches That Changed The World, 2006:239). Sudirman menjadi tokoh penting di salah satu organ Muhammadiyah tersebut, ia adalah pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap.
Pengalaman dan keterampilan yang diperoleh Sudirman dari kepanduan nantinya akan sangat berguna bagi dirinya untuk berkecimpung dalam sektor ketentaraan, dari saat bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA) di era pendudukan Jepang sejak 1942, hingga terpilih sebagai pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tidak lama setelah Indonesia merdeka.
Kepanduan juga mengajarkan kepada Sudirman tentang arti kesederhanaan, salah satunya adalah tidak mesti harus berseragam mewah (Sardiman AM, Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Sudirman, 2008:39). Itulah sebabnya, sosok Sudirman tidak pernah tampil dalam balutan seragam militer dengan seabrek pangkat yang tertempel di dada layaknya seorang jenderal besar.
Praja Muda Karana
Mereka yang menjadi legenda dari jenjang karier sebagai anggota kepanduan bukan hanya Bung Tomo atau Pak Dirman saja. Masih banyak tokoh bangsa yang berangkat dari pengalaman yang kurang lebih sama, termasuk Slamet Riyadi, Sunario Sastrowardoyo, Kasman Singodimedjo, Dr. Muwardi, H. Mutahar, Wilopo, dan lainnya.
Kepanduan memang menjadi salah satu sayap penting bagi organisasi pergerakan nasional, termasuk untuk melahirkan kader-kader tangguh. Dari Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Jong Java, dan seterusnya, punya organ kepanduan meskipun muncul dengan nama yang berbeda-beda.
Sejak 1961, atas perintah Presiden Sukarno, seluruh laskar kepanduan yang ada di Indonesia dilebur ke dalam satu wadah gerakan yang dinamakan Praja Muda Karana alias Pramuka.
No comments:
Post a Comment